11 Feb 2012

Honda

Honda adalah salah satu produsen otomotif terbesar di dunia. Siapakah dibalik itu semua? Ini dia liputannya...

Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah namun ia terus bermimpi dan bermimpi. Pernahkah Anda tahu, sang pendiri “kerajaan” Honda – Soichiro Honda diliputi kegagalan? Ia tidak menyandang gelar insinyur, apalagi gelar profesor. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di ruang kelas, saat belajar di sekolah, duduknya tidak pernah di depan, tetapi selalu menjauh dari pandangan guru.

“Nilaiku jelek di sekolah tapi saya tidak bersedih karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.

Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel tersebut, ayahnya memberi peralatan cathut (kakak tua) untuk mencabut paku dari kayu.

Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel, mesin yang menjadi motor penggeraknya.di penggilingan padi tersebut, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam.

Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang.

Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Fisiknya yanglemah, dan merasa diri tidak tampan membuatnya sering menjadi rendah diri.

Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja di Hart Shokai Company. Bosnya yang bernama Saka Kibara sangat senang melihat cara kerja Honda. Honda sangat teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja ditempat tersebut, telah menambah wawasannya tentang permesinan.

Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya, Saka Kibara, mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya. Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan. Jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otaknya tetap kreatif. Pada zaman itu, ruji-ruji mobil terbuat dari kayu, hingga kurang baik untuk meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji tersebut dengan logam. Hasilnya luar biasa. Ruji-ruji logamnya laku keras dan bahkan banyak diekspor sampai ke seluruh dunia.

Di usia 30, Honda mendaftarkan patennya yang pertama, ruji-ruji logam untuk mobil.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal
Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah
lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang
kuliah – pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang
baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah.

“Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada rektornya, ia menjelaskan bahwa maksudnya kuliah bukan mencari ijasah melainkan pengetahuan. Namun, penjelasan ini justru dianggap penghinaan.



Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Malangnya, niat tersebut tersebut kandas. Jepang, karena bersiap untuk berperang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang, perang meletus. Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga dia memutuskan untuk menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.

Akhirnya, tahun 1947, setelah perang, Jepang kekurangan bensin. Kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” – cikal bakal lahirnya mobil Honda – itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok.

Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor dan mobil Honda menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. “Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”, tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru.

Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, dan berasal dari keluarga miskin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"We are what we repeatedly do" Aristoteles

.